Kamis, 22 Mei 2008
rekonstruktivisme 2
progresivisme
Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
perenialism
Perennialism is a very conservative and inflexible philosophy of education. It is based on the view that reality comes from fundamental fixed truths-especially related to God. It believes that people find truth through reasoning and revelation and that goodness is found in rational thinking. As a result, schools exist to teach reason and God’s will. Students are taught to reason through structured lessons and drills. The teacher’s role is a fountain of knowledge, put in place to regurgitate the wisdom of the past and pass it down to the next generation.
To begin with, I find this philosophy extremely outdated since church and state have been separated for quite some time now. Perenialism leaves no room for progression, which seems to be it’s objective. Students in these schools do not learn to think independently. They do not learn creativity or how to problem solve. They learn to memorize and very little else. The largest problem with this philosophy is that children do not learn the importance of learning, how to learn, or to love and enjoy learning. This philosophy may teach children to read, write, and do arithmetic, but it will also teach them to detest school and dislike learning
Minggu, 04 Mei 2008
L thondike
Edward Lee Thorndike was born in Williamsburg, Massachusetts in 1874. His mother was homemaker, and his father was a minister. After graduating from high school in 1891, he attended Wesleyan University, where he graduated from in 1895. He then continued his education at Harvard University. In 1897 he left Harvard and began graduate work at Columbia University. Thorndike studied learning in cats, and earned PhD in psychology 1898.
His dissertation resulted in his publication in 1898 of "Animal Intelligence" in Psychological Review. Thorndike observed trial and error learning in cats. He placed a cat in a small cage and observed it manipulate the environment in order to escape. Thorndike called this type of learning instrumental learning, stating the individual is instrumental in producing a response.
After teaching for a year at the College for Women of Western Reserve in Cleveland, Ohio, Thorndike went to Teacher's College at Columbia University, where he remained the rest of his academic career. He became more interested in human mental abilities, and published in 1903 a monograph, "Heredity, Correlation and Sex Differences in School Abilities".
Thorndike was a prolific writer, publishing more than 450 articles and books. Some of his important publications include Educational Psychology (1903), Elements of Psychology (1905), The Fundamentals of Learning (1932), and The Psychology of Wants, Interests, and Attitudes (1935)..
He also worked on solving industrial problems, such as employee exams and testing. He was a member of the board of the Psychological Corporation He served as president of the American Psychological Association in 1912. Thorndike died in 1949.
William james
A. Sketsa Kehidupan William James
William James dilahirkan di New York pada tanggal 11 Januari 1842 dan dibesarkan dalam suatu keluarga yang gemar berdiskusi mengenai berbagai masalah, terutama yang mendorong pemikiran bebas. Ayahnya, Henry James adalah seorang pemikir orisinil. Ia telah membina putranya dengan penuh perhatian dan memberikan bekal berbagai pengetahuan. Sejak kecil, William James telah menziarahi banyak negara Eropa dengan berbagai lembaga pendidikannya, baik yang terdapat di Inggris, Swiss, Perancis, maupun yang ada di Jerman. William James telah memulai kegiatan akademiknya di Harvard dengan mempelajari ilmu kedokteran. Kemudian, ia mempelajari fisika, psikologi dan filsafat. Tentu saja ketika itu William James masih berada di bawah pengaruh langsung pemikir-pemikir Universitas Harvard.
Ketika studinya selesai, William James menjadi dosen di Harvard dalam bidang kedokteran, psikologi dan kemudian juga filsafat. Ia bergumul dengan persoalan-persoalan: Apakah arti menjadi manusia dan sejauh mana manusia itu merdeka? Bagaimana pikiran-pikiran itu mempengaruhi manusia?
Selain di Amerika. Willian James juga mengajar di Inggris, Oxford dan Edinburgh. Ia sekaligus seorang seniman dan pemikir tentang Tuhan. Disamping itu, James dapat disebut sebagai tokoh pertama yang mempopulerkan pragmatisme dan sekaligus menjadikannya sebagai mazhab filsafat yang hampir dapat dijadikan tumpuan dan pegangan kebanyakan orang Amerika.
Karangan-karangan James berisikan pokok-pokok pemikiran mengenai berbagai isu filosofis yang berkembang subur pada masanya. Beberapa diantaranya yang populer menyangkut arti kebenaran, prinsip-prinsip psikologi, kemauan untuk percaya, dan sebagainya.
Tak lama kemudian, psikologi telah membawa James ke alam filsafat sehingga ia beralih mempelajari banyak problematika agama dan metafisika. Maka, terbitlah karya besarnya, "Kemauan Untuk Percaya" (The Will to Believe) tahun 1897, serta "Aneka Ragam Pengalaman Keagamaan" (The Varieties of Religious Experiences) tahun 1902. Kemudian pada tahun 1907, terbitlah bukunya yang terkenal, Pragmatism. James juga telah membukukan karya ilmiahnya tentang problematika filsafat dengan judul "Arti Kebenaran" (The Meaning of the Truth) tahun 1909 dan "Dunia Plural" (Pluralistic Universe) tahun 1909.
William James menjadi dosen filsafat di Universitas Harvard selama kurang lebih 31 tahun dan meninggal dunia tahun 1910, setelah filsafat Pragmatismenya tersebar luas di Amerika dan Eropa. Buku-bukunya yang diterbitkan setelah ia meninggal adalah: Some Problems in Philoshophy (1911) dan Essays in Radical Empirism (1912).
Pengaruh William James terhadap tokoh-tokoh seperti Niels Bohr dan Bertrand Russel begitu besar, terutama pada ajarannya yang menyangkut dinamisme alam. Tidak hanya berkat tulisan-tulisannya, namun juga cara hidupnya, filsafat pragmatisme menjadi populer. Tanpa pragmatisme, melalui tokoh seperti James, dan berikutnya Pierce serta Dewey, maka seluruh kehidupan intelektual pada abad XX, khususnya di Amerika akan sukar dibayangkan.
B. Apakah Agama Itu?
Agama sesungguhnya tidak mudah diberikan definisi atau dilukiskan, karena agama mengambil beberapa bentuk yang bermacam-macam diantara suku-suku dan bangsa-bangsa di dunia. Watak agama adalah suatu subyek yang luas dan kompleks yang hanya dapat ditinjau dari pandangan yang bermacam-macam dan membingungkan. Akibatnya, terdapatlah keanekaragaman teori tentang watak agama seperti teori antropologi, sosiologi, psikologi, naturalis dan teori kealaman. Sebagai akibat dari keadaan tersebut, tak ada suatu definisi tentang agama yang dapat diterima secara universal.
Kesulitan serupa dialami oleh William James saat berusaha menemukan pengertian agama yang dapat mencakup keseluruhan aspek yang memang inherent dengan agama, baik sebagai fakta sejarah, prinsip-prinsip dan kondisi psikologis yang menyertainya. Keberagaman teori telah mengakibatkan agama dipahami sebagai berkaitan dengan rasa ketergantungan, berasal dari rasa takut, tak dapat dipisahkan dari kehidupan seksual, diidentifikasi dengan rasa ketakterbatasan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, James kemudian mengakui bahwa dalam mengetengahkan terminologi agama, ia tidak dapat berangkat dari teologi, sejarah agama atau antropologi. Yang paling bisa ia kerjakan adalah merumuskan pengertian agama melalui pendekatan psikologis.
Bagi seorang psikolog, demikian James selanjutnya, kecenderungan keberagamaan seseorang setidak-tidaknya mesti merupakan bagian menarik dari sekumpulan fakta yang berkaitan erat dengan konstitusi mentalnya. Masalahnya kemudian adalah, apa saja yang menjadi kecenderungan keberagamaan itu? Apa signifikansi filosofisnya?
Menurut James, pemahaman yang logis akan mempersembahkan dua macam kerangka jawaban. pertama, berhubungan dengan watak agama, asal usul dan sejarahnya. Kedua, berhubungan dengan signifikansi agama. Kerangka jawaban yang pertama jelas merupakan proposisi eksistensial (existencial judgement), sedangkan yang kedua adalah proposisi tentang nilai (a proposition of value) atau proposisi spiritual (a spiritual proposition). Ini berarti bahwa sebagai suatu fenomena yang berkategori existencial judgement, agama dapat diungkap sosoknya melalui kajian-kajian tentang sejarah dan asal usulnya serta, kemudian, bagaimana kondisi-kondisi geografis tertentu berpengaruh terhadap inti ajaran yang dikembangkan oleh seorang tokoh agama. Sedangkan kedudukan agama sebagai proposisi spiritual, mengetengahkan seperangkat nilai wahyu yang menjadi pedoman hidup bagi seseorang.
Menurut William James, penggabungan dua macam pendekatan itu cukup membantu terutama sepanjang mengetengahkan deskripsi agama berdasarkan fakta dan logika. Akan tetapi secara esensial, agama memiliki derajat kompleksitas yang lebih tinggi. Telaah psikologis menampilkan sisi lain agama, karena menurut teori ini setiap fenomena agama melibatkan emosi yang sangat mendalam; ada rasa takut keagamaan (religious fear), rasa kagum keagamaan (religious awe), rasa senang keagamaan (religious joy), dan sebagainya. Sebenarnya, perasan-perasaan itu bersifat alamiah yang ditujukan kepada obyek-obyek itu sendiri. Rasa takut keagamaan hanyalah rasa takut biasa yang sering mencekam dan menghinggapi hati manusia.
Kompleksitas fenomena keagamaan semacam itu kemudian membuat James menarik suatu definisi luas (overal definition) tentang agama, yang diakuinya sendiri sebagai agak arbitrer. Dalam hal ini James menyatakan:
"Agama dengan demikian mempunyai arti sebagai perasaan (feelings), tindakan (acts) dan pengalaman individual manusia dalam kesendirian mereka, saat mencoba memahami hubungan dan posisi mereka dihadapan apa yang mereka anggap suci."
Sungguhpun definisi itu cukup luas, tetapi menurut James, tetap akan melahirkan kontroversi baru, terutama menyangkut kata suci (divine). Sebab, banyak sistem pemikiran yang dianggap religius namun tidak secara positif mengasumsikan adanya zat yang mahasuci. Budhisme termasuk dalam kategori ini. Meski misalnya, Budha dianggap berposisi sebagai Tuhan, tetapi secara keseluruhan, sistem Budhis itu atheis.
Menurut James, pengalaman keagamaan bersifat unik dan membuat setiap individu mampu untuk menyadari: Pertama, bahwa dunia merupakan bagian dari sistem spiritual yang dengan sendirinya memberikan nilai bagi dunia inderawi; kedua, bahwa tujuan utama manusia adalah menyatukan dirinya dengan alam yang lebih tinggi itu; ketiga, bahwa keyakinan agama membangkitkan semangat baru dalam hidup; dan keempat, bahwa agama mengembangkan kepastian rasa aman dan damai serta menyegarkan cinta dalam hubungan kemanusiaan.
C. Teori Uji Pragmatik Atas Kebenaran Agama
Teori korespondensi menempatkan kebenaran sebagai milik pasti dari ide yang sesuai, sedangkan kesalahan adalah yang tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut James, baik pragmatis maupun intelektualis menerima pengertian ini sebagai hal yang pasti. Perbedaan mereka kemudian terletak pada pertanyaan yang muncul: Apa arti kata yang tepat dari kata-kata sesuai dengan kenyataan? Kapan kenyataan menjadi sesuatu yang sesuai dengan ide kita?
Teori korespondensi bersikukuh menyatakan bahwa pikiran yang benar adalah yang sesuai dengan kenyataan. Sebagaimana pandangan yang berlaku umum lainnya, paham ini juga mengikuti alur pengalaman yang sangat biasa. Dalam hal ini James menyatakan:
"Tutuplah mata anda dan berpikirlah mengenai sebuah jam yang terpampang di sana, niscaya anda akan memperoleh sebuah gambar sejati atau paling tidak anda berhasil menyalin (copy) lempeng jam tersebut ke dalam benak anda. Namun diakui atau tidak, pikiran anda akan menyangkut cara karja jam itu (sekalipun anda seorang pembuat jam), akan jauh lebih sedikit dari sebuah copy, betapaun ia menjalani pemeriksaan yang meniadakan kemungkinan terjadinya benturan dengan kenyataan. Lalu, ketika anda bicara mengenai fungsi penjaga waktu dari jam itu, sesungguhnya sukar sekali untuk melihat dengan tepat apa yang dapat dicopy oleh pikiran anda."
Tak pelak lagi bahwa disini terdapat persolan, manakala ide-ide tidak dapat dengan pasti menyalin obyek mereka, maka apa artinya kata "sesuai" dengan obyek itu? Dengan demikian menurut James, arti kebenaran harus diubah menjadi yang bekerja (works). Ide-ide yang benar adalah ide-ide yang dapat diberlakukan, dibuktikan, dan diwujudkan; sedangakan ide-ide yang salah adalah yang tidak dapat diberlakukan. Kebenaran adalah suatu proses dan terjadi pada suatu ide. Kebenaran sejati adalah verifikasi. Hal ini berarti menekankan perhatian kepada hasil, konsekwensi-konsekwensi, dan fakta-fakta.
Kebenaran agama juga tidak dilihat secara intrinsik, akan tetapi dikaji dari segi hasil-hasil dan konsekwensi-konsekwensi praktisnya bagi kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kebenaran agama didudukkan dalam perspektif pengaruh yang ditimbulkannya atau tidak bertentangan dengan prinsip cash value (al-Qima al-munsharifa). Persoalannya kemudian adalah, bagaimana sekiranya atheisme juga merupakan konsep yang, seperti halnya kepercayaan keagamaan teistik, menimbulkan konsekwensi-konsekwensi praktis yang memuaskan, apakah atheisme berarti konsep yang benar?
D. Kemauan Untuk Percaya
William James menepis kemungkinan atheisme dapat melahirkan konsekwensi-konsekwensi, karena dua alasan. Pertama, orang yang percaya adanya Tuhan mempunyai peluang lebih besar untuk menemukan kebenaran dan mendapatkan nilai tambah praktikalnya ketimbang orang yang ragu-ragu. Selain itu, orang-orang yang tidak percaya adanya Tuhan akan bertambah resiko kehilangan segalanya dalam usaha mendapatkan kebenaran. Kedua, kita tetap memiliki hak untuk percaya meski tanpa adanya bukti yang absolut. Dengan tidak mendorong kemungkinan eksistensi, kepercayaan kepada adanya Tuhan akan memperkaya kehidupan dan sikap dengan manfaat, sehingga ketidak percayaan gagal mendapatkan keberuntungan itu.
Menurut James, berpihak kepada kepercayaan adanya Tuhan adalah pilihan sejati (genuine option) dan merupakan kesimpulan tertinggi dari tahapan makna pilihan yang mengedepankan kepercayaan dan ketidakpercayaan sebagai pilihan aktual (living option). Keperpihakan kepada kepercayaan terhadap adanya Tuhan juga merupakan pilihan penting, kuat, dan tidak dapat dihindarkan.
Berikut ini skema hipotesis agama:
RELIGION’S HYPOTHESIS
TO BELIEVE NOT TO BELIEVE
LIVING OPTION
FORCED AVOIDABLE
MOMENTOUS TRIVIAL
GENUINE OPTION
Kepercayaan religious tetap merupakan keputusan berharga yang mesti diambil, sungguhpun dalam situasi dimana kita tidak memiliki bukti-bukti yang absolut, atau ketika seandainya kepercayaan dan ketidakpercayaan menimbulkan kebimbangan.
Sebagai contoh, andaikata kita berdiri pada suatu puncak gunung dan berada ditengah-tengah pusaran salju dalam kepekaan kabut, lalu tiba-tiba kita memperoleh berkas cahaya dan beberapa jalan kecil, maka apa yang harus kita lakukan? Jika tetap berdiri dan diam saja, maka kita akan mati beku; sebaliknya, apabila kita mengambil jalan yang salah, maka kita akan hancur berkeping-keping. Kita sama sekali tidak mengetahui mana diantaranya yang benar. Lalu, sekali lagi, apa yang harus kita lakukan? William James berpesan:
"Kuatkanlah hati anda dan bersikaplah sebagai seorang kesatria. Perbuatlah apa yang terbaik menurut anda. Harapkanlah yang terbaik dan songsonglah apa yang datang kehadapan anda. Bila kematian merupakan tujuan terakhir, kita akan menjumpai kematian lain yang lebih baik."
William James melihat bahwa mempercayai theisme itu memiliki makna penting karena kemampuannya memuaskan kebutuhan manusia. Dalam perkembangan ini, argumentasi rasional dan demonstrasi eksperimental tidak lagi dibutuhkan. Tuhan tetap riil selama Dia memproduksi efek-efek riil.
John dewey
john dewey
Arguably the most influential thinker on education in the twentieth century, Dewey's contribution lies along several fronts. His attention to experience and reflection, democracy and community, and to environments for learning have been seminal.
(This 'John Dewey' page is due to be extended).
John Dewey (1859 - 1952) has made, arguably, the most significant contribution to the development of educational thinking in the twentieth century. Dewey's philosophical pragmatism, concern with interaction, reflection and experience, and interest in community and democracy, were brought together to form a highly suggestive educative form. John Dewey is often misrepresented - and wrongly associated with child-centred education. In many respects his work cannot be easily slotted into any one of the curriculum traditions that have dominated north American and UK schooling traditions over the last century. However, John Dewey's influence can be seen in many of the writers that have influenced the development of informal education over the same period. For example, Coyle, Kolb, Lindeman and Rogers drew extensively on his work.
John Dewey's significance for informal educators lies in a number of areas. First, his belief that education must engage with and enlarge experience has continued to be a significant strand in informal education practice. Second, and linked to this, Dewey's exploration of thinking and reflection - and the associated role of educators - has continued to be an inspiration. We can see it at work, for example, in the models developed by writers such as David Boud and Donald Schön. Third, his concern with interaction and environments for learning provide a continuing framework for practice. Last, his passion for democracy, for educating so that all may share in a common life, provides a strong rationale for practice in the associational settings in which informal educators work.
Key texts: There is rather a lot of material to choose from here. Three key 'educational' texts that seem to appeal most strongly to informal educators are:
Dewey, J. (1916) Democracy and Education. An introduction to the philosophy of education (1966 edn.), New York: Free Press. Classic discussion of education for democracy ('sharing in a common life') that includes an important reconceptualization of vocational learning. It remains (for me at least) an infuriating book to read. At times ideas are not expressed with the clarity they deserve; there is repetition; and not enough signposting for readers. But... there is gold in these hills.
Dewey, J. (1933) How We Think. A restatement of the relation of reflective thinking to the educative process (Revised edn.), Boston: D. C. Heath. Brilliant, accessible exploration of thinking and its relationship to learning. Dewey's concern with experience, interaction and reflection - and his worries about linear models of thinking still make for a rewarding read. The book's influence lives on in the recent concern with experience and reflection in writers like Boud, Kolb and Schön.
Dewey, J. (1938) Experience and Education,New York: Collier Books. (Collier edition first published 1963). In this book Dewey seeks seeks to move beyond dualities such as progressive / traditional - and to outline a philosophy of experience and its relation to education.
To approach Dewey's concern with experience and knowledge in more detail:
Dewey, J. (1929) Experience and Nature, New York: Dover. (Dover edition first published in 1958). Explores the relationship of the external world, the mind and knowledge.
Biographies: There have been a couple of excellent and fairly recent intellectual biographies:
Campbell, J. (1995) Understanding John Dewey. Nature and co-operative intelligence, Chicago: Open Court. Good, new, general introduction to Dewey's work. Campbell, as his subtitle suggests, focuses on the evaluative power of intelligence not as an individual possession but as a possession of the group.
Ryan, A. (1995) John Dewey and the High Tide of American Liberalism, New York: W. W. Norton. Clear and fair-minded evaluation of Deweyian liberalism.